Tuhan, Maaf Saya Telah Terbiasa.

Pagi ini, kata terbiasa itu muncul kembali di pikiran saya. Setiap
kali terlintas, rasanya seperti ada yang menepuk bahu saya, menyadarkan bahwa
saya harus kembali, karena sudah jauh saya berjalan-jalan.
Kemarin, saya mengikuti mata kuliah seminar, mata kuliah
yang dapat membuat mood saya untuk belajar kembali lagi. Dalam mata kuliah
tersebut, kami dikelompokkan menjadi beberapa kelompok untuk membuat penelitian
dengan metodologi penelitian yang berbeda-beda. Kebetulan saat itu, kelompok
metodologi clinical research yang
mendapat giliran untuk mempresentasikan hasil desain penelitiannya. OK, saya
saat ini bukan ingin menulis mengenai penjelasan dari metodologi tersebut, tapi
saya ingin menulis mengenai objek dari penelitian mereka.
Clinical research adalah metodologi penelitian yang hubungannya dengan dunia
kesehatan. Maka sudah bisa dibayangkan siapa objek penelitiannya. Dalam komunikasi,
Clinical research adalah mengenai
bagaimana permasalahan komunikasi dengan orang-orang dalam kaitannya dengan
kesehatan. Teman saya, kemudian memilih objek seseorang yang memiliki fungsi
tubuh yang tidak sempurna. Badannya lumpuh sebagian, dan tidak dapat berbicara,
juga mengalami penurunan fungsi otak.
Saat mendengarkan penjelasan mengenai bagaimana keadaan
objek, ditambah dengan kata-kata dari dosen mata kuliah tersebut, sukses
membuat saya merinding. Dosen saya berkata, “Kita terlalu terbiasa dengan
keadaan sempurna, dapat mendengar, berbicara, berjalan, dan beraktifitas dengan
normal. Namun tanpa rasa syukur, kadang sering melupakan. Coba kita pikirkan
orang seperti objek penelitian tersebut, mereka tidak pernah meminta dalam
hidupnya untuk menjadi seperti itu, namun mereka tetap bersyukur dan semangat
menjalankan hidup, Allah selalu punya jalan untuk mahluknya”.
Seketika saya ingin menangis, mensyukuri, dan menyadari
bahwa saya sudah terlalu sangat nyaman. Nyaman dengan keadaan normal seperti
orang lainnya, sampai lupa untuk bersyukur. Sampai saya lupa untuk menyadari
nikmat yang luar biasa ini.
Dapat mendengar, sering saya mendengarkan hal-hal yang tidak
bermanfaat. Tanpa berpikir, bagaimana sunyinya hidup orang-orang yang tidak
dapat mendengar, baginya mungkin hidup ini seperti sebuah pertunjukan pantomim yang tiada akhir. Maafkan saya
Tuhan.
Dapat melihat, sering saya melihat yang tidak seharusnya
saya lihat. Sering saya mengabaikan saat melihat ciptaanNYA. Tanpa pernah
berpikir, bagaimana ramainya hidup ini bagi orang yang tidak bisa melihat,
baginya mungkin hidup ini seperti radio yang hanya mengeluarkan suara tanpa ada
wujudnya. Maafkan saya Tuhan.
Dapat berjalan, sering saya berjalan ke tempat yang tidak
bermanfaat. Membawa diri kepada sebuah kerugian. Tanpa saya pernah berpikir,
bagaimana inginnya mereka yang tidak bisa berjalan untuk sekedar dapat berjalan
merasakan kasarnya pasir dan lembutnya tanah. Maafkan saya Tuhan.
Dapat berbicara, sering saya melupakan fungsi dari mulut
untuk mengeluarkan kata-kata yang dapat menyejukkan hati. Mulut ini, sering
saya gunakan untuk membicarakan keburukan. Tanpa saya pernah berpikir,
bagaimana inginnya mereka berteriak, tertawa dan mengeluarkan suara bagi orang
yang tidak bisa berbicara. Maafkan saya Tuhan.
Maka, naif rasanya jika saya hanya dapat mengeluhkan keadaan
saya yang sempurna ini, tanpa pernah belajar dari mereka, orang-orang istimewa
yang memiliki rasa syukur atas nikmat yang luar biasa.
Terimakasih Tuhan. Terimakasih untuk semua yang Kau berikan
pada saya selama ini. Maafkan saya Tuhan, karena sering terjebak dalam rasa
terbiasa, hingga saya tidak menyadari bahwa apa yang saya miliki bukanlah
sesuatu hal yang “biasa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar