“Surat untuk sinta kepada santi”
Hari
ini adalah hari genap kami dua tahun menjalani rumah tangga bahagia ini. Dua
tahun lalu ia berikrar di depan ayahku juga saksi bahwa ia akan memperlakukanku
sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya, dan ia menepati itu. Ia sungguh
lelaki idamanku, walau tak lama kami kenal sebelum menikah aku merasa sudah
mengenalnya melebihi orang lain. Aku sangat mencintai suamiku.
Namun
satu yang masih terus terpikir, disaat umur pernikahan kami sekarang ini
seharusnya kami sudah mempunyai mongmongan.
Tetapi kami belum diberi oleh tuhan untuk dititipkan seorang anak, padahal yang
aku lihat mas dito sudah sangat merindukan hadirnya sosok anak yang pasti akan
lebih melengkapi kebahagiaan rumah tangga kami. Bukannya tanpa usaha, karena
aku dan mas dito selalu menuruti apa yang disarankan orang tua kepada kami
bahkan mitos sekalipun, padahal aku tahu benar kalau suamiku itu paling emoh dengan hal berbau mitos.
Jam
menunjukan pukul setengah delapan malam, seharusnya ia sudah pulang. Apalagi
kami sudah berjanji untuk makan malam di luar bersama dalam rangka merayakan
hari pernikahan. Ah, mungkin dia sedang sibuk untuk mengejar deadline karena
besoknya ia akan menghabiskan waktu untuk berdua saja denganku, aku harus
sabar..mas dito sebentar lagi akan pulang.
****
Esok
paginya aku terkejut. Apa yang aku lakukan? Apa aku ketiduran dan melewatkan
malam kemarin begitu saja. Mas dito pasti kecewa saat datang karena melihatku
sudah tertidur pulas, ah akku menghancurkan rencana kami. Mungkin saat ini ia
ada di dapur,membuat tah hangat seperti kebiasaannya setiap pagi dan hari
inipun aku melewatkan kewajibanku itu.
“
mas..?aku ketiduran semalam. Kenapa kamu ga bangunin aku? “ku lihat ia sedang
menambahkan gula ke dalam cangkir teh hangatnya.
“ ga
papa kog sayang, mas kasian sama kamu. Salah mas ga tepat janji datangnya,hari
ini juga aku mesti berangkat ke kantor ada kerjaan yang ga mungkin ditinggal
jadi rencana hari ini ga bisa.maafin aku ya? “ ia mengusap rambutku dengan
lembut, siapa yang tidak luluh jika perkataan dan kelakuannya sangat lembut
seperti itu, walau aku kecewa tapi aku berusaha mengerti dengan profesinya. Ia
harus profesional.
“ aku
usahakan biar bisa pulang cepat, dan ganti waktu kita yang ga sempat ini. Ok? “
dia berjalan ke meja makan dan masih mengaduk secangkir teh hangatnya itu.
Ternyata ia sudah menyiapkan sarapan untuk kami berdua, ia sangat pengertian
tak pernah menuntut lebih dariku. Ia sosok suami sempurna dalam hidupku.
Setelah
ia pergi berangkat kerja, aku menjalankan rutinitasku seperti biasanya. Kadang
ada perasaan sesal karena aku memutuskan untuk berhenti dari bekerja. Bukan
keinginan mas Dito, tapi keputusanku sebagai tanda baktiku sepenuhnya untuk
suamiku, namun sering merasa sepi jika berada dalam hari seprti ini. Bingung
apa yang harus aku kerjakan, karena tak ada lagi yang bisa ku urusi.
Ibu-ibu
tetangga sebelah jam segini pasti sedang mengadakan rapat khusus membicarakan
orang sambil membeli sayuran. Sejujurnya aku tak suka, karena itu adalah hal yang
tak berguna. Ah tapi niatku beda, aku cuma ingin berkumpul mencari kesibukan.
“ eh bu
Dito, tumben beli sayuran di sini? Mau nyoba sayuran murah ya bu. “ seorang
tetangga berkata dengan nada yang tidak enak didengar, membuatku semakin malas
untuk berinteraksi dengan tetangga sekitar.
“ saya
juga biasanya beli sayuran murah kog, cuma lagi pingin aja beli di sini bu. Apa
perlu daftar absen kalau mau belanja sayuran di Mang awing? “ candaku untuk
mencairkan suasana.
“ ah si
Ibu bisa aja ni. Bu, pak dito itu kerjanya daerah mana tuh bu? “ tanya seorang
yang lain.
“
daerah Jakarta timur bu, kenapa ya? “
“ oh
ga, makannya saya nanya soalnya hari ini beda arah sama biasanya. Mungkin ada
perlu ya Bu? “ sebenarnya hal seperti ini tak perlu ditanyakan, terlihat sekali
ibu-ibu yang suka gosip.
“ iya
tadi ngomong mau beli sesuatu dulu. Berapa mang semuanya? “aku menjawab
seenaknya padahal aku tak tahu mau kemana mas dito hari ini.
“
semuanya lima belas ribu bu Dito. “ jawab mang awing sambil sibuk membereskan sayuran
yang acak-acakan
****
Mas
dito hari ini pulang malam lagi, jujur aku kesepian. Dan sedikit kesal karena
hari ini seharusnya kita berdua, namun aku tidak bisa kesal dengan mas dito
karena ia bekerja sekeras ini untuk menghidupiku juga menabung untuk anak-anak
kami nantinya.
Dimana
ya album pernikahan kami? Aku tidak pernah membukanya lagi setelah pindah rumah
setahun yang lalu. Mungkin ada di gudang belakang, coba kucari, sayang kalau
sampai berdebu dan akhirnya jadi sasaran tikus-tikus gudang.
Suasana
gelap langsung terasa saat membuka pintu gudang belakang, sejak dulu aku sangat
penakut tapi karena hari masih belum begitu malam jadi aku berusaha untuk
memberanikan diri. Barang-barang belum tertata membuatku susah berjalan, aku
lupa untuk membawa senter. Padahal ssudah setahun lalu kami pindah, tapi masih
belum sempat untuk membereskan gudang ini, nanti kalau mas dito sudah ga sibuk
harus ada sat hari untuk beres-beres gudang ini,pikirku.
Walau
gelap, aku masih bisa mengingat letak album pernikahan yang kusimpan, tempatnya
ada di atas lemari yang sudah mulai rapuh. Huh, bodohnya aku menaruh album di
atas lemari ini! Ku coba tarik albumnya karena memang tidak begitu tinggi
lemari itu, bukan album yang ku dapat malah setumpuk amplop terjatuh dan berserakan
di lantai gudang. Mungkin ini persediaan amplop, suamiku itu kan penuh dengan
persiapan. Tapi tunggu,, amplop itu seperti sudah diisi kertas, amplop apa ini?
Kalau surat-surat penting selalu aku simpan rapih dalam lemari kamar, karena di
sini gelap aku ingin melihat isinya di luar saja. Dan akupun melupakan album
pernikahan yang ingin ku ambil.
Untuk sinta
Esok hariku untuk berikrar janji dengan orang yang
baru saja ku kenal, tetapi keluargaku menyukainya semua orang mendukung kami
untuk bersama. Aku selalu berusaha tersenyum jika ada yang berkata kami sangat
serasi, ia cantik,pintar,dan kurasa ia sangat mencintaiku. Banyak yang
menginginkannya karena katanya ia spesial,ia hampir sempurna sebagai perempuan
solehah. Namun untukku itu biasa, aku tidak merasakan rasaku saat bersamamu,
rasa kita berdua.
Aku
sudah memilih baju pernikahan bersamanya, dan kau tahu? Baju itu adalah yang
kita pilih. Warna ungu bukan? Aku sengaja memilihnya, walau aku tak rela itu
dikenakan olehnya. Saat aku memilih baju itu, aku tahu ada gurat tidak setuju
di wajahnya, namun ia terlalu penurut sehingga berpura-pura sangat menyukainya.
Tapi itu adalah caraku, agar aku bisa membayangkan bahwa mempelai perempuan
saat itu adalah kamu.
Andai
besok adalah hari kita, tentunya aku sangat merasakan kebahagiaan seperti apa
yang dirasakan keluargaku sekarang. Ibu tak berhenti ada di sampingnya, mungkin
karena terlalu bahagia. Tapi tenang sayang hati ini cuma milik kamu untuk
selamanya,dan cinta kita hanya kita yang memilikinya. Tak akan ada orang yang
bisa menodainya.
Sejak kalimat pertama aku
membacanya, terasa sangat sakit. Aku sungguh tak percaya kalau orang yang
menulis kata-kata indah ini untuk orang bernama sinta adalah suamiku. Pasti
bukan dia! Bukan dia! Air mataku terus mengalir, namun tak seberapa dibanding
dengan sesak di dada. Aku bahkan tak pernah membayangkan sekalipun tentang ini.
Namun emosi yang memaksaku untuk membuka dan membaca surat kedua untuk wanita
itukah? Atau wanita lain. Apa hubungan wanita itu dengan suamiku? Apa suamiku
main gila di belakangku selama ini? Selama ini, semua yang ia berikan
keromantisan, caranya apakah semua itu seharusnya ditujukan kepada sinta itu?
Ahhhhhh, tak kuasa aku menahan tangis yang semakin menyiksa.
Ku coba
untuk membuka surat berwarna merah muda di antara setumpuk surat yang tersenyum
licik bersiap untuk menyakitiku dengan satu persatu rangkaian kata yang
tertulis indah di dalamnya.
21 agustus 2011
Untuk kekasih abadiku
sinta
Aku berusaha bertahan dalam rumah tangga konyol ini. Aku
rasa aku tak akan pernah dan aku tak tertarik untuk berusaha mencintainya. Hari
aku jalani bersama perempuan itu, aku menjalankan kewajibanku sebagai seorang
suami dan begitu juga dengannya sebagai seorang istri, namun seperti yang ku
bilang terasa hambar.tak ada rasa. Aku tahu aku begitu jahat karena melakukan
ini kepadanya, namun ini juga tak lepas dari kesalahannya karena telah berani
masuk dalam hidupku yang indah bersamamu. Aku marah! Aku marah! Indahku terusik
karena perjodohanku dengannya dan aku tak bisa menolak dengan alasan apapun
karena katanya ia sosok sempurna, ia seperti malaikat dalam keluargaku, tapi
bagiku ia hanya selingan dan utama itu adalah kamu.
Bahkan sampai detik ini ia belum juga memberi cucu yang
sangat diimpikan ibu, ia belum sempurna menurutku sebagai seorang perempuan,tak
akan lebih darimu yang memberiku malaikat kecil yang kini umurnya dua tahun
tiga bulan. Ia begitu lucu, tumbuh menjadi anak pintar juga aktif. Ia juga
sangat cantik sepertimu sayang, sesuai dengan namanya Nisa.
Sekali lagi dan tak akan pernah aku bosan katakan ini
padamu. Aku sangat mencintaimu dan tak akan ada yang bisa menggantikanmu walau
ia berada di sampingku sekarang. Aku percaya akan ada hari indah bersamamu
walau tak di dunia ini sekalipun akan aku tunggu hari itu, karena kau
terpenting dalam hidupku.
Tanpa
rasa? Benarkah tanpa rasa,hambar? Oh tuhan apa yang aku hadapi sekarang ini.
Dia bukan manusia menurutku, bukan suamiku yang sungguh terlampau sempurna di
hadapanku. Ia menyebutku dengan kata perempuan itu, sebegitu asingnyakah aku
baginya? Dan anak, ia punya anak dengan perempuan itu bahkan sebelum aku menikah
dengannya. Keterlaluan! Keterlaluan!
Masih
mencoba membohongi diriku sendiri. Bahwa aku tidak mengalami mimpi buruk ini,
bahwa ia masih suamiku seutuhnya tanpa harus bohongi perasaanya dan ia
merasakan cinta bersamaku. Apa ia begitu kecewa dengan masalah anak? Aku akan
berusaha kalau itu adalah masalahnya, besokpun aku bisa berangkat mencari
pengobatan terbaik.
****
Ia
tidak pulang malam ini, lebih parah dari hari-hari sebelumnya yang hanya lembur
sampai malam. Aku tidak hentinya menangis, menangisi jalan hidupku yang telah
rusak karena memutuskan menikah dengan orang bejat sepertinya. Aku merusak
diriku sendiri! Langit rasanya runtuh, menimpahku dengan derita disiapkannya.
Andai
dia datang malam ini, aku siapkan pisau untuk membunuhnya. Ya, membunuhnya!
Lebih baik menjadi pembunuh daripada menjadi istri seorang bejat sepertinya.
Aku tak sudi memanggilnya Mas, aku tak sudi serumah dengan dia, dan aku tak
rela waktuku dihabiskan untuk mengabdi kepadanya!
****
Paginya
ia datang. Ia berada di sampingku, di tempat tidur kita. Aku masih berharap
kalau malam tadi tak pernah ada, kalau ia masih suami sempurnaku. Namun aku
segera tersadar, terbayang kata-katanya yang sukses membuatku menjadi orang
paling terpuruk.
Diam-diam
ku ambil pisau buah yang ada di samping tempat tidur, niatku bulat untuk
membunuhnya. Bahkan di mimpiku dalam tidur yang sangat singkat aku sudah
membunuhnya, melewati keadaan suram ini menuju pintu bahagia yang kuinginkan.
Ku pandang sejenak wajah tampannya, wajah yang buat aku tegila-gila. Tunggu
sampai pisau ini mendarat di tubuhmu sayang, membalas sakitku dengan tiap
jengkal goresan manisnya. Maaf karena aku telah berani masuk dalam hidupmu
bersamanya.
Pisau
itu kini ada di tanganku, bersiap untuk mengenainya. Namun sial! Ia terbangun dan
sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Segera ia berusaha menghindar, itu membuatku
makin menggila dan bernafsu untuk membunuhnya.
“ sadar
yang, kamu kenapa? Ingat aku ini suamimu! Istighfar santi,istighfar! “ dito
yang masih menjadi suamiku itu mencoba menyadarkan.
“ aku
sepenuhnya sadar! Bahkan terlampau sadar mas! Aku sadar kau main gila di
belakangku. Aku sadar kau punya anak umur dua tahun itu, aku sadar ini adalah
kesalahan terbesarku hidup bersamamu! “ aku masih berusah mengenainya.
“ hahahaha kau tahu itu? Akhirnya
tak usah aku bersusah memberi tahumu, maaf. “ ia setengah menangis, dan akupun
lemas. Mungkin karena tidak tidur semalam, Dan
dalam hitungan menit aku kehilangan kesadaran.
****
Perlahan
ku buka mata, terasa ngilu di punggung. Aku sekarang berada dalam tempat tidur,
namun ada yang berbeda tanganku juga kakiku di rantai. Sepertinya aku berada
dalam tahanan. Tak ada seorangpun yang berada di sampingku, aku hanya sendiri
disini.
Ternyata ku berada dalam rumah sakit jiwa, dan
lelaki sial itu yang mengirimku kemari. Sebulan kemudian sahabatku menjenguk
dan memberi tahu kalau perempuan itu ternyata sakit, dan anak mereka diasuh
oleh neneknya. Mereka adalah pasangan sebelum aku dan lelaki itu menikah,
mereka hampir juga menikah tetapi karena ibu mertuaku menentang keras
hubungannya maka merekapun memutuskan untuk membatalkan rencana indah itu.
Hatiku kini mati rasa, aku sadar benar tentang ini, aku sepenuhnya tidak gila.
Namun aku memilih untuk gila, karena dunia yang ada disini jauh lebih baik dari
dunia sebenarnya yang aku alami. Mungkin sekarang tempat ini adalah yang terbaik untukku. Tanpa harus ada lelaki
bejat itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar