Aku Mencintai Kau
Budayaku, karena Indonesiaku.
Pagi itu, semua orang di
dalam kelas terlihat tegang. Mungkin sedikit pucat, atau malah di ujung sana
sudah ada yang berkeringat. Satu persatu kelompok sudah maju, melewati titik
waktu yang seakan tak kunjung juga usai. Kami merasakan sama, takut dan tegang.
Ah, aku salah... ternyata
di pinggir sana, ku lihat ada salah satu, atau dua, atau malah banyak yang
sedang berpikir keras untuk mencuri perhatian dari dosen di depan kami. Ah... dan
aku salah lagi, ku tengok ke belakang ternyata sedang ada yang mencoret-coret
kertasnya dengan gambar abstrak, mencoba menghasilkan sebuah karya di tengah
jalannya kuliah ini, dan di sebelahnya malah ku lihat ada yang terkantuk sambil
berlagak membaca buku. Mungkin hanya akulah satu-satunya orang yang merasa tegang.
Kini giliran aku dan
kawan-kawan maju untuk mempresentasikan tugas kami. Tradisi yang akan selalu
ada dalam langkah menuju presentasi adalah jantung yang berdetak semakin
kencang dan suhu terasa semakin dingin. Membuat tingkahku yang semula biasa,
menjadi salah tingkah. Selain karena dosen di depan itu, aku tak terlalu kenal
dengan teman sekelas kali ini, jadi rasanya malu jika nanti salah jawab, lalu
ia memarahiku di depan mereka. Gengsi.
Presentasi dimulai dengan
sambutan baik dari dosen kami, awal sampai akhir presentasi berjalan dengan
lancar. Aku menjelaskan bak seorang pakar yang sudah mengerti benar mengenai
permasalahan yang sedang dibahas, meskipun nervous
tak bisa disembunyikan. Namun kata “gengsi” yang sempat terbesit dalam
pikiranku, menghilang seketika berganti takut. Takut jikalau salah dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan teman-teman lainnya. Benar saja, tak lama
berselang aku salah dalam menjawab. Dosen kami mempermasalahkan mengenai
hegemoni budaya. Ia lalu menjelaskan mengenai arti dari hegemoni budaya itu,
dan sejurus kemudian mengajukan pertanyaan padaku,
“ Sekarang, kamu berasal
dari mana?” ia bertanya serius padaku. Celakanya setiap pertanyaan seperti itu
dilayangkan, aku tak pernah bisa menjawab. Aku bingung, tak tau asalku dari
mana. Aku bingung, apakah kata “asal” yang ditanyakan itu adalah tempat lahirku, atau malah tempat
tinggalku, atau kampung asal orang tuaku? Pertanyaan seperti itu sudah sukses
berkali-kali membuatku menjadi orang bodoh.
“Orang Indonesia bu”.
Kurangkum semua provinsi yang ada di otakku menjadi sebuah negara, yaitu
Indonesia. Menurutku itu adalah jawaban yang paling aman. Tapi aku salah.
“Saya tau kamu orang
Indonesia, memang mau orang mana!”. Teman sekelas jadi tertawa karena omongan
Bu Dosen barusan, karena iapun sedikit tetawa. Aku juga ikut tertawa, mencoba
mencairkan suasana.
“Jangan ketawa kamu! Ini
gak lucu! Asal daerah kamu darimana?” Bukannya mencair, suasana malah tambah
membeku.
“Indrama...eh, Tangerang
bu..” aku menjawab dengan nada ragu-ragu.
“Iya, tangerang itu dari
mana?” nadanya semakin tegas. Nah loh, memangnya dari mana? Pikirku.
“Tangerang itu provinsi
mana?” ia bertanya lagi.
“Banten bu,” Aku langsung
menjawab. Jangan-jangan ia berpikir bahwa aku tak mengerti geografi.
“Apa khas dari Banten?”
haduh...aku semakin bingung. Aku tak pernah tahu dan tak mau mencari tahu
mengenai Banten. Walaupun sudah 19 tahun aku hidup disana. Aku hanya bisa
terdiam.
“Apa khas dari Banten?”
ia semakin mendesakku.
“emmmm, saya kurang tahu
bu.” mengakui apa sebenarnya yang ada dalam pikiranku ini.
“Kamu ini gimana! Kamu
menjelaskan hegemoni budaya, mencontohkan bagaimana orang-orang Indonesia sudah
mulai terpengaruh oleh budaya K-pop Korea dan meninggalkan budayanya sendiri. Tapi
kamu malah mempraktikkannya, ga punya jati diri. Kamu itu sebenarnya pantas
dapat julukan orang galau, gak punya jati diri.”
Jlebbbb... kata-katanya
barusan seperti menusuk perutku, desiran suhu dingin itu makin terasa dalam
tubuh. Entah menahan marah atau malah malu. Karena jujur aku malu, ga punya
jati diri.
****
Dan waktu yang seakan
lama itu pun berlalu. Benar jika ada yang menulis lirik lagu bahwa “badai pasti
berlalu”, bagaimanapun aku diterjang oleh badai itu pasti suatu saat akan
berhenti. Meski sesudahnya, mungkin aku sudah tak utuh lagi. Tapi badai kali
ini adalah badai yang hanya datang mengejutkan, aku hanya perlu menahan malu
sesaat. Ku pikir, toh sudah banyak
juga teman-teman di kelas yang dipermalukan sepertiku. Jadi ga hanya aku
sendiri yang harus diterpa badai bergilir ini. Aku tertawa sendiri, geli,
memikirkan omelan tersebut.
“heh...ngelamun aja.
Mikirin apaan?” sifa teman sekelasku membuyarkan khayalan seputar badai.
“Dia lagi mengalami masa
trauma tau mba.., udah biarin aja dulu. Efek dari omelan bu dosen itu kan dua
jam setelahnya pasti buat orang jadi ngelamun terus, atau kalau udah akut malah
bisa senyum-senyum sendiri kayak dia. Tapi entar juga ilang sendiri, kalau
mentalnya udah kuat lagi.hahahaha”. anna temanku juga malah nimbrung
ikut-ikutan.
“Hahaha...efeknya bisa
jadi serem banget na”. Eka yang juga temanku terlihat sangat terhibur dengan
banyolan anna barusan. Aku cuma bisa manyun, pasrah diledek oleh mereka.
“Udah ri...udah, Nanti
kita bantu cari jati dirimu ya.hehehe”. Sifa malah ikutan meledek juga
sekarang.
“Hahaha, gak punya jati
diri. Lucu juga kalau dibuat tweet”.
Aku mencoba menghibur diri sendiri, berusaha untuk menjadi orang yang legowo, tidak terlalu serius dengan
semuanya, termasuk hal ini.
****
Badai hari kemarin itu
sudah sepenuhnya berlalu. Aku sudah tak peduli lagi dengan ungkapan gak punya
jati diri itu. Masa bodo dengan jati diri atau semacamnya. Yang aku tahu, aku
adalah orang Indonesia dan mahasiswa Gunadarma. Itu cukup kan jika dijadikan
sebuah identitas?
Ah...ya sudahlah. Cukup
mengenai jati diri itu. Gak usah terlalu dipikirkan, dan jangan menjadi beban.
Sekarang ya sekarang, yang kemarin itu cuma sebuah selingan. Anggap jadi
latihan penguat mental. Dan aku kembali tersenyum, kembali fokus pada kuliah
pak dosen di depan kelas yang sangat ku kagumi itu.
“lalu, bagaimana jika
bangsa kita terus menerus seperti ini? Mudah terpengaruh, terus mengikuti
perilaku budaya bangsa lain. Padahal budaya Indonesia itu kan banyak sekali,
kenapa gak pilih salah satu diantara banyaknya budaya untuk dijadikan pegangan.
Untuk dijadikan contoh. Jadikan ciri khas budaya yang kalian pegang menjadi
kaya akan keunikan, sehingga orang akan menaruh perhatian, lalu bisa saja
mereka suka dan mengikuti, sekali-kali dong kita harus jadi trendsetter, jangan jadi pengikut melulu.
Layaknya kalian ini yang tengah mengikuti budaya korea, menari-nari ala boyband
dan girlband itu. Iya toh? Angkat tangan disini yang suka joged-joged sendiri
di kamarnya meniru artis korea?” pak dosen itu selalu mengangkat hal-hal
menarik untuk dijadikan bahan kuliah di kelas, terbukti, Seketika kelas
langsung ramai, saling tunjuk dan tertawa. Menunjuk teman sekamar mereka yang
memang punya kebiasaan menari- nari ala boyband atau girlband korea, bahkan
sudah ada yang diupload ke Youtube.
“Oke, oke..., sekarang
ayo kita mengucap janji” pak dosen langsung mengambil alih kelas, setelah membiarkannya
sementara untuk ramai. Teman-teman langsung diam, dan teralih perhatiannya.
“ Ucapkan bersama setelah
saya ya..!” ia mengambil nafas sejenak sambil menutup matanya. Terkadang Pak
Dosen ini juga kerap berlebihan.hehehe
“ saya, pemuda pemudi
Indonesia” pak dosen mengucapkannya dengan suara keras.
“saya, pemuda pemudi
Indonesia”. Dan semua teman-teman sekelas mengikutinya juga dengan suara keras.
“Akan membawa Indonesia
kemanapun saya berada, akan menaruh Indonesia terus di hati saya, dan akan
membuat Indonesia indah pada setiap orang yang melihatnya. Indonesiaku
cintaku”. Kali ini ada semacam desiran hangat di hatiku saat mendengar janji
yang diucapkan dosen itu, ya..walaupun awalnya aku menganggap hal ini terlalu
berlebihan. Namun saat ini aku malah merinding mendengar teman-teman
mengucapkan janji itu dengan serempak. Aku hanya bisa diam, bingung. Ada yang
aneh, tapi entah apa.
****
Air yang banyak itu terus
mengguyur bumi. Membuat bumi basah, pohon-pohon itu basah dan tanah itu juga
basah. Menahanku untuk pergi ke luar rumah. Liburan panjang seperti ini, hanya
aku habiskan dengan terus di rumah. Rasa bosan pun perlahan memenuhi kepalaku.
Serba salah jika melakukan ini dan itu. Huhhh...apa ya kegiatan yang bisa
menjadi penangkal bosan?
Wulan. Aha! Ulan.., dia
pasti juga sedang liburan di rumah. Teman masa kecilku yang juga tetanggaku.
Dia kan punya sanggar, pasti banyak orang disana, banyak anak kecil yang
menari-nari lucu di sana. Pasti bisa sedikit menghilangkan bosan.
Tapi sayangnya, harapanku
untuk mengusir bosan gagal total. Tak ada anak-anak, tak ada yang menari, dan
tak ada yang bisa kulihat sesampainya aku di sanggar. Tapi tunggu, ternyata ada
ulan di pojok sana. Ia mengangkat satu kakinya, seperti sedang pemanasan.
“hoi...lagi apa bu, ujan-ujan
gini?” ternyata aku mengagetkannya.
“dasar riri..., dari
kecil kerjaannya bikin kaget gue melulu!”
“hehehe, seru banget
kayaknya. Ini baju apa? Heboh banget?” aku penasaran dengan pakaian yang sedang
dikenaknnya.
“sembarangan! Ini baju
adat tau! Gue lagi belajar tarian baru. Menarik banget.” Ulan terlihat antusias
jika sudah membicarakan tari menari.
“lu buat sendiri
tariannya?”
“gak, ini tarian khas
Banten. Tapi jarang orang yang tau, dan gue yakin lu salah satu orang yang gak
tau. Iya kan???” pertanyaan ulan seakan menghakimi.
“enak aja lu.., gue bukan
gak tau, tapi bisa jadi lupa.”aku gengsi mengakui ketidak tahuanku ini.
“yah...sama aja. Lu kan
gak pernah mau tau soal banten. Orang mana sih lu? tinggal di Banten, makan
tidur juga di Banten. Tapi gak tau apa-apa soal Banten”. Buset! Lama gak ketemu
si Ulan, dia sudah punya banyak kosa kata yang sukses menyindirku.
“Kan gue tinggal di
Tangerang lan, beda lah sama Banten”. Aku membela diri.
“Ya sama lah riri...,
Tangerang itu ya bagian dari Banten”.
“Tau ah, gue kan kesini
mau main. Malah diceramahin. Ya udah, gue pulang”. Aku merasa kesal.
“iya” ulan menjawabnya
ketus.
****
Malamnya, aku malah
teringat dengan kata-kata ulan tadi siang. Ditambahkan dengan perkataan bu
dosen dan janji pak dosen. Aku merasa tersingung, namun juga resah. Dalam
pikiranku saat ini adalah, apa benar aku ini gak punya jati diri? Aku orang
Tangerang? ya memang. Aku harus mengenal tempat ini lebih jauh? ya memang. Aku
tidak pernah mau belajar budaya tempatku ini? ya memang. Jadi benar aku gak
punya jati diri? Ya... mungkin. Ahhhhh....semuanya jadi begini. Jadi susah
tidur begini.
Pagipun datang, tanpa aku
bisa tidur dengan tenang. Heh...kenapa aku ini? Ini pasti gara-gara aku salah
pilih tempat tujuan menghilangkan bosan, eh malah sampai sekarang jadi
kepikiran.
Tuk tak, tuk tuk, tuk tak, tuk tuk..... bunyi-bunyian itu mengganggu pagiku
yang suram ini. Aku mengintip keluar dari jendela, penasaran suara apa itu.
Ternyata sumbernya dari rumah ulan, ada apa ya? Jadi makin penasaran. Tapi aku
kan lagi marahan sama dia. Coba liat ah, daripada penasaran.
Ternyata suara itu adalah
suara dari lesung padi. Sejak kapan ulan masih menumbuk padi? Siapa ibu-ibu tua
itu?aku makin kepo. Masa bodo dengan
ulan, aku mau lihat ke dalam ah...
****
Wah...mereka bukan ibu
tua biasa, mereka menari bersama dentuman dari lesung padi itu. Indah sekali.
Aku sampai tersenyum-senyum mengikuti semangat ibu-ibu itu.
“seru kan?” ulan
membuyarkan konsentrasiku yang sedang mencoba memperhatikan ketukan dari lesung
padi tersebut.
“Iya, seru.”
“Gak kalah kan sama
tarian artis-artis luar negeri itu?” nada ulan kembali menyindir.
“Iya, lebih gimana gitu.
Bikin merinding”
“Mau coba gak?” ulan
menawariku.
“ha?” aku kaget dengan
penawarannya.
“udah...gak usah gengsi.
Masih tetep keren kog walaupun tarian daerah”. Ulan menarik tanganku. Aku hanya
bisa mengikutinya, mendekati ibu-ibu itu yang sedang asik membuat alunan irama
yang membuat mereka semakin bersemangat.
“Nih pake,” ulan
memberiku sehelai selendang berwarna ungu. “diikat di pinggang ya!” aku
langsung mengikat selendang itu di pinggangku. Ulan sudah bersiap dengan gerakan
tarinya.
“Ikutin gue aja. Kita kan
dulu juara nari di tujuh belas agustusan. Sekarang juga pasti kita bisa
kompak”. Ulan mengedipkan sebelah matanya. Aku Cuma bisa manyun, jadi teringat
masa kecil yang suram dulu.
Tuk tak, tuk tuk, tuk tak, tuk tuk, tuk tuk....
Suara lesung kembali beraturan.
Terdengar sebuah dentuman yang semakin cepat namun selaras dengan gerak kaki
ulan. Akupun segera mengikuti, tak mau kalah dengannya. Dan kami berdua pun hanyut
dalam tarian lesung itu.
Aku merasa senang. Sangat terhibur
karena tarian ini, ditambah dengan teriakan heboh dari ibu-ibu itu. Entah
mereka meneriakkan apa, mereka berbicara dengan bahasa sunda. Aku sama sekali
tak mengerti.
“Asik ya”Tak sadar kata itu keluar
dari mulutku, mengakui bahwa tarian ini mengasyikkan padahal tarian ini
kuanggap aneh.
“iya dong namanya tarian Bendrong
Lesung, tarian begini nih yang selalu buat gue semangat kalau udah di sanggar”
jawab ulan.
“kenapa sih lu gak kuliah aja lan,
sayang kan, lu tuh padahal pinter tau”
“Lu kuliah karena mau jadi lebih baik kan? belajar hal yang belum
dipelajari. Gue juga sama, gue mau jadi lebih baik. Cuma caranya beda sama lu,
gue memperkaya diri dengan tarian lewat sanggar ini. Gue menari, dan gue
bahagia. Yang paling penting, gue merasa jadi lebih baik”. Lalu ulan tersenyum.
Walaupun ia temanku, namun ia juga selalu jadi saingan. Sayangnya, kali ini aku
mengaku kalah darinya, ia sudah maju beberapa langkah lebih jauh dariku.
“Eh, gue masih kurang satu orang lagi
buat tarian ini, sanggar kita mau pentas nanti di ulang Tahun Kota Tangerang.
Kota lu juga kan? hehehe, mau ikut gak?” ia berbiacara sambil membuka simpul
ikatan selendang.
“emang boleh?” aku ragu.
“boleh lah. Itung-itung pengisi
liburan lu kan ri”.ulan terseyum padaku, seakan dia tahu kalau aku sudah bosan
di rumah terus selama liburan kemarin.
“Ok” aku mengiyakan.
****
Setelah pagi itu, aku
ulan dan kita semua siap untuk tampil di berbagai acara untuk membawakan tarian
bendrong lesung khas Banten ini. Di setiap gerakan tariannya, aku percaya semua
gerakan itu punya makna. Sebuah warisan yang tak bisa dinilai harganya.
Anak muda seperti aku ini sudah sepatutnya
mewarisi harta dari budaya, bukan sibuk untuk berkiblat pada budaya negara
orang. Kata-kata seperti itu sudah biasa terdengar, namun terasa berbeda jika
aku yang melakukannya sendiri. Ternyata tahu secuplik mengenai budaya daerah
sendiri merupakan kebanggaan untukku. Aku bangga bisa membawakan tarian ini,
memperkenalkannya pada setiap orang yang melihatnya. Membuat budayaku terlihat
indah pada setiap orang yang melihatnya.
Ah, aku jadi teringat
janji yang diucapkan keras-keras waktu itu. Kalau dipikir aku sudah
menepatinya, walaupun bukan keseluruhan Indonesia yang kubuat indah, namun
budaya daerahku ini adalah bagian dari Indonesia. Manusia itu senang melakukan
sesuatunya secara bertahap bukan? Aku
juga akan bertahap membuat Indonesia bangga mempunyai aku sebagai anak bangsanya. Tentu, aku akan memulai untuk
lebih mengenal budaya tempatku dahulu. Baru aku bisa bicara macam-macam budaya
Indonesia yang kaya itu.
Bu dosen, sekarang aku sudah
punya jati diri. Aku orang Tangerang yang merupakan bagian dari provinsi
banten. Tarian ini saksinya bu, aku mencoba mempelajarinya sebagai wujud aku
memilikinya.
Tuk tak, tuk tuk, tuk tak, tuk tuk, tuk tuk....
Alunan suara itu semakin
cepat mengiringi gerakan jari-jemari kami. Suara lesung padi itu bercampur
dengan Riuh penonton bertepuk tangan. Ini tempatku, dimana aku tumbuh menjadi
dewasa, besar dan mulai mengerti akan arti dari belajar mencintai.
Ya...mencintai budayaku sendiri. Sebuah garis besar yang bisa kusimpulkan
adalah “aku mencintai kau, budayaku, karena Indonesiaku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar