2.12.2014

Cerpen

Aku Mencintai Kau
Budayaku, karena Indonesiaku.
Pagi itu, semua orang di dalam kelas terlihat tegang. Mungkin sedikit pucat, atau malah di ujung sana sudah ada yang berkeringat. Satu persatu kelompok sudah maju, melewati titik waktu yang seakan tak kunjung juga usai. Kami merasakan sama, takut dan tegang.
Ah, aku salah... ternyata di pinggir sana, ku lihat ada salah satu, atau dua, atau malah banyak yang sedang berpikir keras untuk mencuri perhatian dari dosen di depan kami. Ah... dan aku salah lagi, ku tengok ke belakang ternyata sedang ada yang mencoret-coret kertasnya dengan gambar abstrak, mencoba menghasilkan sebuah karya di tengah jalannya kuliah ini, dan di sebelahnya malah ku lihat ada yang terkantuk sambil berlagak membaca buku. Mungkin hanya akulah satu-satunya orang yang merasa tegang.
Kini giliran aku dan kawan-kawan maju untuk mempresentasikan tugas kami. Tradisi yang akan selalu ada dalam langkah menuju presentasi adalah jantung yang berdetak semakin kencang dan suhu terasa semakin dingin. Membuat tingkahku yang semula biasa, menjadi salah tingkah. Selain karena dosen di depan itu, aku tak terlalu kenal dengan teman sekelas kali ini, jadi rasanya malu jika nanti salah jawab, lalu ia memarahiku di depan mereka. Gengsi.
Presentasi dimulai dengan sambutan baik dari dosen kami, awal sampai akhir presentasi berjalan dengan lancar. Aku menjelaskan bak seorang pakar yang sudah mengerti benar mengenai permasalahan yang sedang dibahas, meskipun nervous tak bisa disembunyikan. Namun kata “gengsi” yang sempat terbesit dalam pikiranku, menghilang seketika berganti takut. Takut jikalau salah dalam menjawab pertanyaan yang diajukan teman-teman lainnya. Benar saja, tak lama berselang aku salah dalam menjawab. Dosen kami mempermasalahkan mengenai hegemoni budaya. Ia lalu menjelaskan mengenai arti dari hegemoni budaya itu, dan sejurus kemudian mengajukan pertanyaan padaku,
“ Sekarang, kamu berasal dari mana?” ia bertanya serius padaku. Celakanya setiap pertanyaan seperti itu dilayangkan, aku tak pernah bisa menjawab. Aku bingung, tak tau asalku dari mana. Aku bingung, apakah kata “asal” yang ditanyakan  itu adalah tempat lahirku, atau malah tempat tinggalku, atau kampung asal orang tuaku? Pertanyaan seperti itu sudah sukses berkali-kali membuatku menjadi orang bodoh.
“Orang Indonesia bu”. Kurangkum semua provinsi yang ada di otakku menjadi sebuah negara, yaitu Indonesia. Menurutku itu adalah jawaban yang paling aman. Tapi aku salah.
“Saya tau kamu orang Indonesia, memang mau orang mana!”. Teman sekelas jadi tertawa karena omongan Bu Dosen barusan, karena iapun sedikit tetawa. Aku juga ikut tertawa, mencoba mencairkan suasana.
“Jangan ketawa kamu! Ini gak lucu! Asal daerah kamu darimana?” Bukannya mencair, suasana malah tambah membeku.
“Indrama...eh, Tangerang bu..” aku menjawab dengan nada ragu-ragu.
“Iya, tangerang itu dari mana?” nadanya semakin tegas. Nah loh, memangnya dari mana? Pikirku.
“Tangerang itu provinsi mana?” ia bertanya lagi.
“Banten bu,” Aku langsung menjawab. Jangan-jangan ia berpikir bahwa aku tak mengerti geografi.
“Apa khas dari Banten?” haduh...aku semakin bingung. Aku tak pernah tahu dan tak mau mencari tahu mengenai Banten. Walaupun sudah 19 tahun aku hidup disana. Aku hanya bisa terdiam.
“Apa khas dari Banten?” ia semakin mendesakku.
“emmmm, saya kurang tahu bu.” mengakui apa sebenarnya yang ada dalam pikiranku ini.
“Kamu ini gimana! Kamu menjelaskan hegemoni budaya, mencontohkan bagaimana orang-orang Indonesia sudah mulai terpengaruh oleh budaya K-pop Korea dan meninggalkan budayanya sendiri. Tapi kamu malah mempraktikkannya, ga punya jati diri. Kamu itu sebenarnya pantas dapat julukan orang galau, gak punya jati diri.”
Jlebbbb... kata-katanya barusan seperti menusuk perutku, desiran suhu dingin itu makin terasa dalam tubuh. Entah menahan marah atau malah malu. Karena jujur aku malu, ga punya jati diri.
****
Dan waktu yang seakan lama itu pun berlalu. Benar jika ada yang menulis lirik lagu bahwa “badai pasti berlalu”, bagaimanapun aku diterjang oleh badai itu pasti suatu saat akan berhenti. Meski sesudahnya, mungkin aku sudah tak utuh lagi. Tapi badai kali ini adalah badai yang hanya datang mengejutkan, aku hanya perlu menahan malu sesaat. Ku pikir, toh sudah banyak juga teman-teman di kelas yang dipermalukan sepertiku. Jadi ga hanya aku sendiri yang harus diterpa badai bergilir ini. Aku tertawa sendiri, geli, memikirkan omelan tersebut.
“heh...ngelamun aja. Mikirin apaan?” sifa teman sekelasku membuyarkan khayalan seputar badai.
“Dia lagi mengalami masa trauma tau mba.., udah biarin aja dulu. Efek dari omelan bu dosen itu kan dua jam setelahnya pasti buat orang jadi ngelamun terus, atau kalau udah akut malah bisa senyum-senyum sendiri kayak dia. Tapi entar juga ilang sendiri, kalau mentalnya udah kuat lagi.hahahaha”. anna temanku juga malah nimbrung ikut-ikutan.
“Hahaha...efeknya bisa jadi serem banget na”. Eka yang juga temanku terlihat sangat terhibur dengan banyolan anna barusan. Aku cuma bisa manyun, pasrah diledek oleh mereka.
“Udah ri...udah, Nanti kita bantu cari jati dirimu ya.hehehe”. Sifa malah ikutan meledek juga sekarang.
“Hahaha, gak punya jati diri. Lucu juga kalau dibuat tweet”. Aku mencoba menghibur diri sendiri, berusaha untuk menjadi orang yang legowo, tidak terlalu serius dengan semuanya, termasuk hal ini.
****
Badai hari kemarin itu sudah sepenuhnya berlalu. Aku sudah tak peduli lagi dengan ungkapan gak punya jati diri itu. Masa bodo dengan jati diri atau semacamnya. Yang aku tahu, aku adalah orang Indonesia dan mahasiswa Gunadarma. Itu cukup kan jika dijadikan sebuah identitas?
Ah...ya sudahlah. Cukup mengenai jati diri itu. Gak usah terlalu dipikirkan, dan jangan menjadi beban. Sekarang ya sekarang, yang kemarin itu cuma sebuah selingan. Anggap jadi latihan penguat mental. Dan aku kembali tersenyum, kembali fokus pada kuliah pak dosen di depan kelas yang sangat ku kagumi itu.
“lalu, bagaimana jika bangsa kita terus menerus seperti ini? Mudah terpengaruh, terus mengikuti perilaku budaya bangsa lain. Padahal budaya Indonesia itu kan banyak sekali, kenapa gak pilih salah satu diantara banyaknya budaya untuk dijadikan pegangan. Untuk dijadikan contoh. Jadikan ciri khas budaya yang kalian pegang menjadi kaya akan keunikan, sehingga orang akan menaruh perhatian, lalu bisa saja mereka suka dan mengikuti, sekali-kali dong kita harus jadi trendsetter, jangan jadi pengikut melulu. Layaknya kalian ini yang tengah mengikuti budaya korea, menari-nari ala boyband dan girlband itu. Iya toh? Angkat tangan disini yang suka joged-joged sendiri di kamarnya meniru artis korea?” pak dosen itu selalu mengangkat hal-hal menarik untuk dijadikan bahan kuliah di kelas, terbukti, Seketika kelas langsung ramai, saling tunjuk dan tertawa. Menunjuk teman sekamar mereka yang memang punya kebiasaan menari- nari ala boyband atau girlband korea, bahkan sudah ada yang diupload ke Youtube.
“Oke, oke..., sekarang ayo kita mengucap janji” pak dosen langsung mengambil alih kelas, setelah membiarkannya sementara untuk ramai. Teman-teman langsung diam, dan teralih perhatiannya.
“ Ucapkan bersama setelah saya ya..!” ia mengambil nafas sejenak sambil menutup matanya. Terkadang Pak Dosen ini juga kerap berlebihan.hehehe
“ saya, pemuda pemudi Indonesia” pak dosen mengucapkannya dengan suara keras.
“saya, pemuda pemudi Indonesia”. Dan semua teman-teman sekelas mengikutinya juga dengan suara keras.
“Akan membawa Indonesia kemanapun saya berada, akan menaruh Indonesia terus di hati saya, dan akan membuat Indonesia indah pada setiap orang yang melihatnya. Indonesiaku cintaku”. Kali ini ada semacam desiran hangat di hatiku saat mendengar janji yang diucapkan dosen itu, ya..walaupun awalnya aku menganggap hal ini terlalu berlebihan. Namun saat ini aku malah merinding mendengar teman-teman mengucapkan janji itu dengan serempak. Aku hanya bisa diam, bingung. Ada yang aneh, tapi entah apa.
****
Air yang banyak itu terus mengguyur bumi. Membuat bumi basah, pohon-pohon itu basah dan tanah itu juga basah. Menahanku untuk pergi ke luar rumah. Liburan panjang seperti ini, hanya aku habiskan dengan terus di rumah. Rasa bosan pun perlahan memenuhi kepalaku. Serba salah jika melakukan ini dan itu. Huhhh...apa ya kegiatan yang bisa menjadi penangkal bosan?
Wulan. Aha! Ulan.., dia pasti juga sedang liburan di rumah. Teman masa kecilku yang juga tetanggaku. Dia kan punya sanggar, pasti banyak orang disana, banyak anak kecil yang menari-nari lucu di sana. Pasti bisa sedikit menghilangkan bosan.
Tapi sayangnya, harapanku untuk mengusir bosan gagal total. Tak ada anak-anak, tak ada yang menari, dan tak ada yang bisa kulihat sesampainya aku di sanggar. Tapi tunggu, ternyata ada ulan di pojok sana. Ia mengangkat satu kakinya, seperti sedang pemanasan.
“hoi...lagi apa bu, ujan-ujan gini?” ternyata aku mengagetkannya.
“dasar riri..., dari kecil kerjaannya bikin kaget gue melulu!”
“hehehe, seru banget kayaknya. Ini baju apa? Heboh banget?” aku penasaran dengan pakaian yang sedang dikenaknnya.
“sembarangan! Ini baju adat tau! Gue lagi belajar tarian baru. Menarik banget.” Ulan terlihat antusias jika sudah membicarakan tari menari.
“lu buat sendiri tariannya?”
“gak, ini tarian khas Banten. Tapi jarang orang yang tau, dan gue yakin lu salah satu orang yang gak tau. Iya kan???” pertanyaan ulan seakan menghakimi.
“enak aja lu.., gue bukan gak tau, tapi bisa jadi lupa.”aku gengsi mengakui ketidak tahuanku ini.
“yah...sama aja. Lu kan gak pernah mau tau soal banten. Orang mana sih lu? tinggal di Banten, makan tidur juga di Banten. Tapi gak tau apa-apa soal Banten”. Buset! Lama gak ketemu si Ulan, dia sudah punya banyak kosa kata yang sukses menyindirku.
“Kan gue tinggal di Tangerang lan, beda lah sama Banten”. Aku membela diri.
“Ya sama lah riri..., Tangerang itu ya bagian dari Banten”.
“Tau ah, gue kan kesini mau main. Malah diceramahin. Ya udah, gue pulang”. Aku merasa kesal.
“iya” ulan menjawabnya ketus.
****
Malamnya, aku malah teringat dengan kata-kata ulan tadi siang. Ditambahkan dengan perkataan bu dosen dan janji pak dosen. Aku merasa tersingung, namun juga resah. Dalam pikiranku saat ini adalah, apa benar aku ini gak punya jati diri? Aku orang Tangerang? ya memang. Aku harus mengenal tempat ini lebih jauh? ya memang. Aku tidak pernah mau belajar budaya tempatku ini? ya memang. Jadi benar aku gak punya jati diri? Ya... mungkin. Ahhhhh....semuanya jadi begini. Jadi susah tidur begini.
Pagipun datang, tanpa aku bisa tidur dengan tenang. Heh...kenapa aku ini? Ini pasti gara-gara aku salah pilih tempat tujuan menghilangkan bosan, eh malah sampai sekarang jadi kepikiran.
Tuk tak, tuk tuk, tuk tak, tuk tuk..... bunyi-bunyian itu mengganggu pagiku yang suram ini. Aku mengintip keluar dari jendela, penasaran suara apa itu. Ternyata sumbernya dari rumah ulan, ada apa ya? Jadi makin penasaran. Tapi aku kan lagi marahan sama dia. Coba liat ah, daripada penasaran.
Ternyata suara itu adalah suara dari lesung padi. Sejak kapan ulan masih menumbuk padi? Siapa ibu-ibu tua itu?aku makin kepo. Masa bodo dengan ulan, aku mau lihat ke dalam ah...
****
Wah...mereka bukan ibu tua biasa, mereka menari bersama dentuman dari lesung padi itu. Indah sekali. Aku sampai tersenyum-senyum mengikuti semangat ibu-ibu itu.
“seru kan?” ulan membuyarkan konsentrasiku yang sedang mencoba memperhatikan ketukan dari lesung padi tersebut.
“Iya, seru.”
“Gak kalah kan sama tarian artis-artis luar negeri itu?” nada ulan kembali menyindir.
“Iya, lebih gimana gitu. Bikin merinding”
“Mau coba gak?” ulan menawariku.
“ha?” aku kaget dengan penawarannya.
“udah...gak usah gengsi. Masih tetep keren kog walaupun tarian daerah”. Ulan menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikutinya, mendekati ibu-ibu itu yang sedang asik membuat alunan irama yang membuat mereka semakin bersemangat.
“Nih pake,” ulan memberiku sehelai selendang berwarna ungu. “diikat di pinggang ya!” aku langsung mengikat selendang itu di pinggangku. Ulan sudah bersiap dengan gerakan tarinya.
“Ikutin gue aja. Kita kan dulu juara nari di tujuh belas agustusan. Sekarang juga pasti kita bisa kompak”. Ulan mengedipkan sebelah matanya. Aku Cuma bisa manyun, jadi teringat masa kecil yang suram dulu.
Tuk tak, tuk tuk, tuk tak, tuk tuk, tuk tuk....
Suara lesung kembali beraturan. Terdengar sebuah dentuman yang semakin cepat namun selaras dengan gerak kaki ulan. Akupun segera mengikuti, tak mau kalah dengannya. Dan kami berdua pun hanyut dalam tarian lesung itu.
Aku merasa senang. Sangat terhibur karena tarian ini, ditambah dengan teriakan heboh dari ibu-ibu itu. Entah mereka meneriakkan apa, mereka berbicara dengan bahasa sunda. Aku sama sekali tak mengerti.
“Asik ya”Tak sadar kata itu keluar dari mulutku, mengakui bahwa tarian ini mengasyikkan padahal tarian ini kuanggap aneh.
“iya dong namanya tarian Bendrong Lesung, tarian begini nih yang selalu buat gue semangat kalau udah di sanggar” jawab ulan.
“kenapa sih lu gak kuliah aja lan, sayang kan, lu tuh padahal pinter tau”
“Lu kuliah karena mau jadi  lebih baik kan? belajar hal yang belum dipelajari. Gue juga sama, gue mau jadi lebih baik. Cuma caranya beda sama lu, gue memperkaya diri dengan tarian lewat sanggar ini. Gue menari, dan gue bahagia. Yang paling penting, gue merasa jadi lebih baik”. Lalu ulan tersenyum. Walaupun ia temanku, namun ia juga selalu jadi saingan. Sayangnya, kali ini aku mengaku kalah darinya, ia sudah maju beberapa langkah lebih jauh dariku.
“Eh, gue masih kurang satu orang lagi buat tarian ini, sanggar kita mau pentas nanti di ulang Tahun Kota Tangerang. Kota lu juga kan? hehehe, mau ikut gak?” ia berbiacara sambil membuka simpul ikatan selendang.
“emang boleh?” aku ragu.
“boleh lah. Itung-itung pengisi liburan lu kan ri”.ulan terseyum padaku, seakan dia tahu kalau aku sudah bosan di rumah terus selama liburan kemarin.
“Ok” aku mengiyakan.
****
Setelah pagi itu, aku ulan dan kita semua siap untuk tampil di berbagai acara untuk membawakan tarian bendrong lesung khas Banten ini. Di setiap gerakan tariannya, aku percaya semua gerakan itu punya makna. Sebuah warisan yang tak bisa dinilai harganya.
 Anak muda seperti aku ini sudah sepatutnya mewarisi harta dari budaya, bukan sibuk untuk berkiblat pada budaya negara orang. Kata-kata seperti itu sudah biasa terdengar, namun terasa berbeda jika aku yang melakukannya sendiri. Ternyata tahu secuplik mengenai budaya daerah sendiri merupakan kebanggaan untukku. Aku bangga bisa membawakan tarian ini, memperkenalkannya pada setiap orang yang melihatnya. Membuat budayaku terlihat indah pada setiap orang yang melihatnya.
Ah, aku jadi teringat janji yang diucapkan keras-keras waktu itu. Kalau dipikir aku sudah menepatinya, walaupun bukan keseluruhan Indonesia yang kubuat indah, namun budaya daerahku ini adalah bagian dari Indonesia. Manusia itu senang melakukan sesuatunya secara  bertahap bukan? Aku juga akan bertahap membuat Indonesia bangga mempunyai aku sebagai  anak bangsanya. Tentu, aku akan memulai untuk lebih mengenal budaya tempatku dahulu. Baru aku bisa bicara macam-macam budaya Indonesia yang kaya itu.
Bu dosen, sekarang aku sudah punya jati diri. Aku orang Tangerang yang merupakan bagian dari provinsi banten. Tarian ini saksinya bu, aku mencoba mempelajarinya sebagai wujud aku memilikinya.
Tuk tak, tuk tuk, tuk tak, tuk tuk, tuk tuk....
Alunan suara itu semakin cepat mengiringi gerakan jari-jemari kami. Suara lesung padi itu bercampur dengan Riuh penonton bertepuk tangan. Ini tempatku, dimana aku tumbuh menjadi dewasa, besar dan mulai mengerti akan arti dari belajar mencintai. Ya...mencintai budayaku sendiri. Sebuah garis besar yang bisa kusimpulkan adalah “aku mencintai kau, budayaku, karena Indonesiaku”.